Harga Rumah Naik Tajam di 2025, Konsumen Dituntut Lebih Cermat

Harga Rumah Terus Naik dan Mahal di Tahun 2025, Konsumen Harus Lebih Strategis

Memasuki kuartal kedua tahun 2025, harga rumah di Indonesia terus mengalami kenaikan yang terasa di hampir semua segmen pasar, mulai dari hunian subsidi hingga kelas menengah ke atas. Di kawasan-kawasan urban utama seperti Jakarta, Tangerang, Bekasi, dan Bogor, lonjakan harga berkisar antara 7 hingga 10 persen dibandingkan tahun lalu. Kenaikan ini semakin mempertegas tantangan memiliki rumah bagi masyarakat berpenghasilan menengah dan generasi muda.

Lonjakan harga ini dipengaruhi oleh beberapa faktor utama yang saling berkaitan. Pertama, keterbatasan lahan di wilayah strategis membuat harga tanah melonjak tajam. Di sisi lain, biaya konstruksi ikut meningkat akibat naiknya harga bahan bangunan seperti semen, pasir, besi, dan kaca, serta biaya tenaga kerja. Faktor eksternal seperti inflasi dan ketidakstabilan global juga memengaruhi biaya produksi secara keseluruhan.

Menurut Riza Hartono, analis properti dari Properti Watch Indonesia, pengembang tidak punya banyak ruang untuk menahan harga. “Kenaikan harga tanah dan material membuat pengembang mau tidak mau harus menyesuaikan harga jual rumah. Margin keuntungan mereka pun makin tipis,” ujarnya. Kondisi ini menyebabkan harga rumah, bahkan di kawasan penyangga ibu kota, kini terasa semakin tak terjangkau.

Selain faktor biaya, tingginya permintaan hunian menjadi katalis utama. Urbanisasi yang terus meningkat, pertumbuhan keluarga baru, serta geliat ekonomi pasca pandemi membuat permintaan terhadap hunian tetap tinggi. Namun, ketersediaan rumah dengan harga terjangkau belum mampu mengimbangi pertumbuhan kebutuhan tersebut.

Pemerintah memang telah menggulirkan sejumlah program bantuan seperti FLPP (Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan) dan Tapera, namun daya jangkau program ini masih terbatas. Banyak konsumen di kota besar tidak memenuhi kriteria karena harga rumah di wilayah mereka sudah melebihi batas subsidi. Ini menyebabkan kelompok menengah—yang tidak cukup miskin untuk subsidi, tapi juga belum cukup kuat untuk pasar komersial—terjebak di tengah.

Sebagai respons atas situasi ini, para pengembang mulai menyesuaikan strategi dengan mengembangkan proyek di pinggiran kota atau wilayah penyangga. Kawasan seperti Bekasi Timur, Gunung Sindur, Tigaraksa, hingga Parung Panjang mulai dibidik sebagai pusat pengembangan hunian baru. Didukung oleh pembangunan infrastruktur seperti jalur kereta komuter, LRT, serta jalan tol baru, kawasan ini dinilai memiliki potensi pertumbuhan harga yang tinggi dalam jangka menengah.

Namun, kenaikan harga juga membuat konsumen semakin selektif. Banyak calon pembeli mulai mempertimbangkan rumah seken yang lebih terjangkau dan siap huni, atau bahkan memilih menyewa sambil menunggu pasar lebih stabil. Bagi sebagian lainnya, opsi seperti rumah subsidi, rumah mungil minimalis, hingga kepemilikan bersama (co-ownership) menjadi alternatif baru.

Pengamat pasar memperkirakan tren kenaikan harga akan berlanjut, namun dengan laju yang lebih moderat seiring penyesuaian daya beli masyarakat. Meskipun demikian, urgensi untuk memiliki rumah tetap tinggi, menjadikan pasar hunian tetap aktif meski dengan tantangan besar.

Dengan kondisi ini, para konsumen disarankan untuk merencanakan pembelian rumah secara lebih matang. Pemahaman atas skema pembiayaan, simulasi KPR, hingga konsultasi dengan konsultan properti dapat membantu pengambilan keputusan yang lebih tepat dan aman secara finansial. Di tengah harga yang terus naik, strategi dan informasi menjadi kunci utama untuk tetap bisa memiliki rumah impian.



 
Posted on Apr 29, 2025